Kata toleransi seakan dipaksa hilang oleh para segelintir kaum, mengingat banyaknya kejadian yang berbau SARA beberapa waktu lalu di negeri ini, sudah kami praktekkan sejak puluhan tahun lalu di Kalimantan Barat. Penduduk dimana tempat saya lahir dan dibesarkan ini, terdiri dari beberapa suku yakni Dayak, Melayu Tionghoa, Madura, Bugis, Jawa dan lain sebagainya.
Perayaan Imlek di Kota Pontianak merupakan salah satu contoh nyata, bagaimana cara kami mempraktekkan arti toleransi yang sesungguhnya. Jika malam Natal dirayakan dengan nyala lilin di gereja, malam Idul Fitri dengan berkeliling takbiran dan dentuman meriam karbit, maka suara petasan, sinar kembang api, permainan replika naga, barongsai akan mewarnai perayaan Imlek.
pemain Liong atau Naga saat perayaan Imlek
Suara petasan dan sinar kembang api tersebut tidak hanya menjadi tontonan bagi mereka yang merayakan Imlek, tetapi juga akan menjadi hiburan bagi semua orang yang sedang berada di Pontianak. Para pedagang akan laris dagangannya karena banyaknya pembeli. Jadi teringat masa remaja dahulu, saat bersama saudaraku selalu berjualan petasan dan kembang api menjelang perayaan Imlek.
Yang benar-benar mendidik kami tentang arti toleransi di Kalimantan Barat adalah tentang budaya saling mengunjungi atau bertamu yang masih terjaga hingga saat ini.
Ketika saya menetap di Jawa dan pertama kali merayakan hari besar keagamaan, saya kaget dan heran karena tidak ada tetangga yang menawarkan saya untuk berkunjung ke rumahnya. Saya juga tidak melihat tumpukan toples kue di ruang tamu rumah-rumah warga sebagai tanda sedang merayakan hari besar.
Di Kalimantan Barat khususnya Pontianak, hari raya bukan hanya dirayakan dalam lingkup keluarga. Saat hari raya, meskipun kita tidak dikenal atau apapun latar belakang kita, misalnya pada perayaan Natal, Idul Fitri ataupun Imlek, maka perjamuan akan selalu tersedia bagi para tamu pada setiap rumah yang merayakannya.
Maka disaat Imlek, saya akan berkunjung kerumah teman-teman yang merayakannya, kadang kalau saya belum sempat untuk datang bertamu kerumahnya, mereka akan datang dan menjemput istri dan anak-anak saya untuk dibawa kerumah mereka.
Dari hal-hal tersebut, saya belajar tentang tali persaudaraan, tentang memberikan dengan tulus ikhlas. Itulah toleransi yang sesungguhnya yang begitu saya rindukan ketika berada di perantauan.
Suka cita Imlek begitu hidup di kota kami, kota yang sampai hari ini masih menjaga nilai-nilai tentang keluarga, tradisi dan toleransi pada nyawa setiap pemduduknya.