BERTEMU JODOH DI GAWAI DAYAK

Mencari jodoh bisa dengan berbagai cara. Ibarat pepatah, banyak jalan menuju Roma. Sebelum trend mencari jodoh lewat internet, ada cara konvensional yang biasa dilakukan muda-mudi Dayak, yakni mencari jodoh saat pesta Gawai.

            Perkawinan transnasional atau antar negara, mahfum terjadi , antara warga dua negara. Perkawinan perempuan Dayak dengan pria kulit putih (Caucasian) pun sudah sering terjadi. Atau pria Dayak dengan wanita kulit putih. Apalagi di dua negara yang berbatasan langsung, seperti Pos Lintas Batas di Kalimantan Barat dan Serawak, Malaysia Timur. Dan Gawai Dayak,  menjadi ajang paling favorit dalam mencari jodoh, bagi muda-mudi Dayak di kedua negara bertetangga ini.

Pesta Gawai Dayak di Serawak ini dilakukan pada 1 Juni. Khusus di Serawak, Gawai Dayak selalu digelar setiap 1 Juni dan menjadi hari libur nasional. Para muda-mudi memanfaatkan ajang ini, dan tak sedikit di antara mereka menemukan jodoh. Seperti Yeni dan David, berjodoh saaat Gawai di Balai Karangan. Yeni, perempuan sal Pengadang, bertemu jodohnya dengan David, pemuda Bidayuh dari Serian, Serawak. Kini pasangan ini memiliki dua orang putra.

Yeni bersyukur karena dua anaknya,  bisa leluasa sekolah tanpa biaya tinggi di Serian, karena mengikuti kewarganegaraan suaminya.

“Sejak lama, mulai dari sekolah, perawatan jika sakit, semua ditanggung pemerintah. Lebih enak dan amanlah,”ujar Yeni.

Sementara, David mengungkap,”Sebenarnya, hidup di mana saja itu sama. Asal mau bekerja keras, pasti ada hasil. Cuma kalau di Balai, mungkin tak banyak lapanagan kerja. Kalau di Serawak. Asal mau kerja , pasti ada saja rezeki,”ujar Davis yang bekerja di sebuah pabrik plywood di Serian.

Ia berharap. Suatu saat nanti bisa menjadi warga negara Malaysia. Sesuatu yang mungkin saja terjadi, seperti pasangan Sylvester Langui, 57, asal Mongkos yang menikah dengan Agnes Gunting, 56, asal Desa Noyan, sejak 37 tahun lalu. Agnes sudah menjadi warga negara Malaysia setelah 10 tahun mereka menikah.

“Beda kalau pasangan yang lelakinya dari Indonesia, sulit sekali bisa diterima menjadi warga negara Malaysia,” ujar Henry Ngagi, seorang guru di Sekolah Kebangsaan (Sekoilah Dasar) St Raymond, Desa Mujat, yang berdampingan  dengan Mongkos. Henry mengaku memiliki banyak keluarga di Balai Karangan, Indonesia.

Namun, beberapa pria Dayak Bidayuh dari Sekayam, menikah dengan perempuan Bidayuh di sekitar Serian, Serawak. Hingga kini beranak-pinak, dan tetap menjalin hubungan silaturahmi antar keluarga. Seperti  kakak beradik Angela Henry dan Nicholas Walter Henry, putera dari (Alm) Henry Manju, asal desa Pengadang, kecamatan Sekayam. Mereka dengan ramah menyambut sepupu-sepupu mereka dari Sekayam yang bertandang ke Serian atau Kuching.

“Kita bersaudara, yang membedakan hanya kewarganegaraan saja, mereka Malaysia, kita Indonesia,”ujar Christo Lomon, saat bertandang ke Kuching belum lama ini.

“Ya yang membedakan hanya pemerintahan dan ideologi politik saja. Lain dari itu, kami tetap kompak,”ujar Patrick Dadak, suami dari Angela Henry.

Angela dan Patrick, menjamu sepupu-sepupunya yang datang dari Indonesia, bertandang ke Kampung Budaya, Kampung Santubong, 35 km dari Kuching,  Ibukota Serawak.

Leave a Reply

Your email address will not be published.