Memori dari Sekolah ‘Elit’ Dekat Lapangan Bola Itu

Pertama kali belajar bahasa Inggris. Pertama kali main bola basket. Pertama kali main bola voli. Pertama kali menulis untuk majalah dinding. Pertama kali punya sahabat pena. Pertama kali apa lagi ya..?

baca bagian 2: Murid yang Tak Dikenal

Jujur, itulah pengalaman-pengalaman pertama yang kualami, ketika duduk di bangku SMP Suster di Pontianak. Tamat dari SD Gembala Baik yang letaknya di pinggir Sungai Kapuas pada tahun 1976, oleh Ibuku, Clara Yustina Sanih, aku didaftarkan di sekolah Susteran ini.

Jujur saja, yang terbersit di benakku yang masih tergolong bocah saat itu, wah ini sekolah anak-anak kalangan  berpunya. Kulihat, anak-anak yang bersekolah di sana, banyak yang diantar orang tuanya dengan mobil. Walau pun tidak sedikit yang mengendarai sepeda atau naik mobil angkutan umum, oplet.

Bapakku, Yakob Lomon, rajin mengantarku sekolah dengan motor Vespanya, sambil ia berangkat ke kantornya, gedung DPRD Provinsi Kalimantan Barat, di kawasan kota Baru Pontianak.

Pulang sekolah, dari sekolah aku berjalan sekitar 1 km ke terminal oplet di Pasar Seroja, di tengah kota. Menumpang oplet yag kemudian membawaku pulang ke rumah orang tuaku yang sederhana di depan asrama Brimob,  Km 6 Sungai Raya, saat itu masuk dalam kabupaten Pontianak. Kini Kabupaten Kubu Raya.

Anak-anak Didik Para Biarawati

Selama 3,5 tahun, aku menjadi bagian dari sekolah yang dipimpin seorang biarawati Katolik, Suster Yohana SFIC. Terekam dalam benakku, beliau adalah sosok kepala yang berwibawa, dan mengendalikan sekolah dengan tata krama sarat kedisiplinan. Jika datang terlambat, maka jangan harap bisa masuk, karena pagar sekolah sudah digembok.

Aku berusia 12 tahun lebih 2 bulan, saat masuk SMP itu, pada awal Januari 1977. Aku duduk di bangku paling depan di sayap kiri kelas I A. Temanku, namanya Daswati. Ia dan aku, sedikit di antara murid ‘Melayu’, maksudnya bukan dari kalangan Tionghoa, yang jumlahnya cukup mendominasi di sekolah ini.

Daswati pula yang mengajakku untuk aktif menulis di Mading, majalah dinding sekolah, Virginia, nama mading kami. Sejak tamat SMP, aku tak pernah lagi bertemu Daswati.

Kelas 1 SMP, pertama kali belajar bahasa Inggris, gurunya Suster Kandida. Sang Suster legendaris ini bagi telingaku, bicaranya terdengar cepat bukan main. Tak heran, nilai rapot bahasa Inggris ku pas-pasan saja hehehe.

Naik kelas 2 SMP, pertama kali aku belajar bahasa Jepang. Juga pertama kali belajar menulis Steno. Jujur saja, aku senang dengan dua mata pelajaran ini. Sayang hanya di kelas 2 SMP,kami mendapat pelajaran ini. Karena perubahan tahun ajaran baru tahun 1978, maka aku dan kawan-kawan menjalankan kelas 2 SMP ini selama 1,5 tahun. Saat kelas 2 B ini, aku sekelas dengan murid-murid lelaki. Naik kelas 3, kami juga mendapat pelajaran Memasak.

Hingga aku dan kawan-kawan tamat SMP Suster pada tahun ajaran 1979/1980. Sebagian dari kami melanjutkan SMA di Pontianak. Sebagian ke luar pulau, banyak di pulau Jawa. Aku sendiri dan beberapa teman SMP, melanjutkan ke SMA St. Paulus yang letaknya berdekatan dengan SMP Suster. Sama-sama berada di dekat lapangan bola PSP, Pontianak.

Lapangan bola Pontianak Sport Vereeniging, atau disingkat PSV, kemudian biasa disebut PSP, adalah lapangan bola yang penuh kenangan. Bukan karena aku bermain bola di sana, seperti teman-teman murid lelaki. Tetapi karena kami sering berolahraga lari, mengelilingi lapangan bola yang diberi nama lapangan Keboen Sejoek ini.

Jika pelajaran olahraga usai, maka kami beramai-ramai menyerbu tukang bakso yang berjualan di depan sekolah, gerobak baksonya menempel pada tembok lapangan bola.

Hingg kini, jika pulang ke Pontianak, aku tak perah absen makan Bakso PSP ini. Tempatnya masih menempel dengan tembok lapangan PSP. Meski sudah ditata lebih rapi. <<

baca bagian 2: Murid yang Tak Dikenal

Leave a Reply

Your email address will not be published.