Di jaman Hindia Belanda, ada satu kota yang menjadi tempat idaman bagi orang-orang kulit putih untuk tinggal dan menetap. Dari segi lingkungan, kota ini memiliki semua unsur yang membuat hampir siapa saja betah untuk tinggal menetap. Kota tersebut adalah Kota Salatiga. Sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di jalur lintas Kota Semarang – Solo, berjarak 49 kilometer dari Kota Semarang dan 52 kilometer dengan Kota Solo.
Sebagai sebuah kota yang berada di lereng pegunungan, kota ini memiliki hawa udara yang cukup sejuk, dikarenakan kondisi geografisnya yang dikelilingi oleh gunung-gunung, yaitu Gunung Merbabu, Gunung Gajah dan Gunung Telomoyo. Serta keberadaan Danau Rawa Pening yang menjadikan bentang alam di Kota Salatiga lengkap antara pegunungan, dataran rendah dan wilayah perairan.
Saat sekarang, seperti lazimnya penduduk-penduduk di Pulau Jawa, penduduk di sini mayoritas berasal dari Suku Jawa, akan tetapi banyak juga para perantau datang ke kota ini. Mereka kebanyakan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang cukup terkenal di sini. Bisa dikatakan Kota Salatiga merupakan miniatur dari negara Indonesia, karena keberagaman suku yang tinggal di kota ini.
“Banyak pelajar dari Kalimantan dan Papua yang melanjutkan kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga ini. Setelah kuliah rampung, banyak dari mereka yang enggan pulang ke kampung halaman, karena jatuh cinta dengan alam Salatiga yang begitu indahnya,”ujar Rita Ambarwati, yang lahir dan besar di Salatiga.
Tak heran, Salatiga menjadi kota idaman para perantau. Termasuk penulis yang juga merupakan perantau dari Suku Dayak Kalimantan Barat.
Hidup di era jaman digital seperti sekarang ini, yang arus informasi sangat mudah didapat melalui media sosial, tidaklah sulit bagi penulis bertemu dengan sesama perantau dari Kalimantan di Kota Salatiga ini. Untuk sekadar melepas rasa rindu akan kampung halaman, kami biasanya bertemu dengan para sahabat untuk kumpul bersama sekedar minum kopi. Tidak hanya bersantai mengobrol bercerita, kami juga membahas hal-hal yang serius ditanah rantau ini.
Salah seorang dari perantau Kalbar di Salatiga, adalah Emmy Ofang. Ia bersuamikan seorang purnawiran perwira TNI AD, asal Salatiga. Maka ketika sang suami pensiun, pilihan mereka, kembali ke Salatiga.
Emmy Ofang, aktif dalam kegiatan organisasi. Di antaranya organisasi masyarakat Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) di Kota Salatiga.
“Belum lama ini , saya bersama Julius mengikuti Seminar Penguatan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan Pemerintah, dengan kegiatan Analisis dinamika politik, ideologi, pengawasan, pembangunan dan kemasyarakatan, yang bertemakan Penguatan karakter dan jatidiri bangsa menuju Indonesia bersih dan maju,” ujar Emmy Ofang.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah ini, bekerjasama dengan JPKP DPW Jateng, dilaksanakan di Hotel Lor Inn, Colomadu Kabupaten Karang Anyar pada tanggal 23 – 24 Oktober 2017, dihadiri peserta dari JPKP se Jawa Tengah dan unsur masyarakat.
“Maksud dari kegiatan seminar ini adalah, untuk berbagi pemikiran mengenai persoalan dan peran ormas dalam pemerintahan dan pembangunan di Indonesia. Bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat, dalam menyikapi perkembangan situasi dan kondisi politik dan mempersiapkan masyarakat, dalam pelaksanaan Pileg dan Pilpres”, ujar H. Prapto Utomo, Pembina JPKP Jawa Tengah.
Dengan diadakannya seminar ini, “berharap kedepannya JPKP semakin menjadi jaringan yang mampu melayani masyarakat dan menjadi mitra pendamping dalam program pemerintah”, papar Julius Joko Saptono, Spd, Ketua Panitia Seminar dan Ketua JPKP DPD Solo.
