Pepatah mengatakan “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian ; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian ,” yang mempunyai arti walaupun terasa berat beban yang dilakukan saat ini, namun dapat menghasilkan hasil yang baik di kemudian hari.
Pepatah ini terasa pas untuk Christian Mara, pria kelahiran 21 Juli 1967 asal Dayak Jangkang Kabupaten Sanggau yang telah mendunia, lewat karya seni alat musik Sape’.
Berawal pada tahun 1980 an, Christian Mara yang saat itu masih kecil bersama denngan saudara dan kawan-kawan sekampungnya dari Kampung Rosak, Desa Pisang, Jangkang, beramai-ramai menonton pertunjukan seni dalam rangka memperingati hari jadi kemerdekaan Republik Indonesia di Kantor Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, mereka harus berjalan kaki selama 6 jam untuk sampai di kecamatan jangkang.
“Maklumlah karena saat itu tidak ada kendaraan dan memang belum ada jalan yang bisa dilewati kendaraan,” ucap Mara.
Pertunjukan seni yang digelar sekali dalam setahun di kecamatan Jangkang ini, menjadi satu-satunya hiburan bagi masyarakat pada saat itu. Tidak mengherankan jika masyarakat rela ramai-ramai berjalan kaki untuk menonton.
“Kalau dari kampung kami, kampung rosak belum seberapa. Ada masyarakat dari kampung lain yang harus berjalan kaki hingga 2 hari untuk sampai ke kantor kecamatan ini,” cerita Mara dengan logat Dayaknya yang kental.
Dalam pertunjukan seni tersebut, ia mulai tertarik pada alat-alat musik yang dipakai. Sepulang dari menonton pertunjukan, ia mulai belajar membuat Sape’ alat musik petik khas Dayak, menggunakan kayu pelai atau jelutung yang banyak tumbuh di kampungnya.
Karena terbatasnya peralatan yang dimiliki pada saat itu, dengan hanya menggunakan sebilah parang, ia sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu membelah kayu untuk membuat Sape’.
Setelah jadi, Mara belajar bermain musik bersama kawan-kawannya di kampung. Bentuk sape hampir menyerupai gitar. Namun, bentuknya agak lonjong. Panjang sekitar 1,5 meter dengan lebar sekitar 18 sentimeter. Tali atau senar sape terbuat dari akar tingang atau bisa juga dari rotan jenggot,khusus untuk senar sape yang berjumlah dua hingga enam tali.
Pemuda sederhana yang hanya sempat mengecap pendidikan sampai kelas IV Sekolah Dasar Pisang ini, merantau ke Pontianak di tahun 1986. Berbekal pengetahuan musik sekadarnya yang ia pelajari di kampung, ia bermain musik bersama sejumlah kawan-kawannya di Pontianak, dan nekad membuat sanggar.
“Sanggar itu kami beri nama Bengkawan, mengambil dari nama bukit tertinggi di kampung kami. Sanggar ini juga yang menjadi cikal bakal lahirnya sanggar-sanggar seni yang ada di Kota Pontianak,” kata Mara.
Saat itu, mereka masih meminjam peralatan musik dari mana saja untuk kegiatan pentas. Dari desakan kondisi tidak memiliki alat musik sendiri inilah, Mara kemudian kembali memperdalam ilmu membuat alat-alat musik etnis Dayak.
Sejak saat itu, Mara membuat alat musik Dayak seperti Ketobong (gendang panjang), Sobang (bedug), Sape’, Seruling, Gong, Kenong, Saron, dan Bansilabu (semacam seruling yang dibuat dari tangkai labu). Tidak hanya mahir membuat alat musik saja, ia juga juga pintar menari dan menciptakan kreasi tarian Dayak. Bahkan andal mencipta lagu.
Mara banyak menciptakan lagu-lagu daerah berbahasa Dayak Ribun. Sudah 9 album di hasilkannya, padahal ia mengaku tidak pandai mengucapkan notasi solminasi.
“Saya buat lagu dengan membuat ceritanya dahulu, setelah itu baru saya beri nadanya. Saya dengarkan lagi, kalau ada nada yang tidak tepat dengan cerita lagu, baru saya perbaiki,” ujar Mara.
Berbekal mahir dalam menari dan bermain musik, Mara pun sering diundang untuk mentas di Malaysia, Brunai Darussalam, Australia, bahkan Eropa dalam berbagai lawatan budaya. Di tahun 2009, ia meraih penghargaan Anugerah Kebudayaan sebagai Pelestari dan Pengembang Budaya ,dari Presiden Republik Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono.
Bahkan banyak orang-orang dari luar negeri tertarik datang ke Pontianak mencarin Mara, untuk belajar memperdalam pengetahuan tentang seni musik Sape’.