Namaku Aurelia Zeli, kelahiran Agustus 1996 (tanggalnya ada di KTP ya), di desa Kuala Dua, kecamatan Kembayan, kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Aku ingin menceritakan sepenggal pengalaman hidupku, semoga dapat memberikan inspirasi dan diambil hikmahnya oleh pembaca sekalian.
Ibuku, Natalia Suti, wanita Dayak Bidayuh Muara ( Bi Nengeuh), asli Kuala Dua. Sedangkan ayahku, Joko, asli Blitar, Jawa Timur. Pada usia terbilang belia, 17 tahun, Ayah merantau ke Kalimantan untuk bekerja. Keduanya bertemu dalam sebuah acara Gawai, pesta panen padi suku Dayak Bidayuh di Balaikarangan, sekitar 1 jam dari Kuala Dua.
Saling jatuh cinta, pemuda Joko langsung melamar Nona Suti, meski usianya 6 tahun lebih tua darinya. Ayah yang tadinya non Katolik, menerima syarat perkawinan secara adat Dayak dan diberkati di gereja Katolik di Kuala Dua. Sejak itu Ayah dan Ibu menjalani aktivitas seperti biasa yang dilakukan orang-orang di kampung halaman kami
Di awal pernikahan, karena belum punya rumah sendiri, Ayah dan Ibu menumpang sementara di rumah Kakek dan Nenek di Kuala Dua. Ibu dan Ayah adalah sosok pekerja keras. Keduanya selalu berusaha dan bekerja bersama sama untuk anak-anaknya, aku dan adikku, Mariana Sindy. Bahkan sebelum punya anak, Ayah pernah cerita kalau dulu mereka sering susah senang sama-sama.
Banyak kenangan masa kecilku yang masih terekam. Susah senang bersama keluarga dan juga dengan teman-teman semasa kanak-kanak. Aku pernah bersekolah di SDN 10 Jemongkok, sekitar setengah jam jalan kaki dari Kuala Dua, sampai kelas 5 saja. Saat masih SD itu, ibu sayalah yang mengajarkan saya segala pelajaran.
Pernah dulu waktu saya masuk ke TK Kuala Dua, aku belum siap bergabung dengan teman teman baru. Hanya ditegur galak oleh teman sekelas saja, aku langsung menangis. Akhirnya aku tidak melanjutkan TK, dan Ibu memutuskan untuk mengajar sendiri anaknya di rumah, agar bisa masuk ke Sekolah Dasar secepatnya.
Waktu masuk SD, aku masih berumur 4 tahun. Awalnya guru-guru tidak menerima tapi berkat usaha Ibu, akhirnya aku bisa langsung sekolah.
Baru masuk SD, aku segera lancar membaca dan berhitung. Bahkan aku masuk 5 besar, paling minim 10 besar. Semua berkat didikan guru dan Ibku, yang meski hanya tamatan SMP, beliau masih mau turun tangan mengajarku untuk bekal sekolah (bersambung)