Bagian : >1
Angin segar mulai menerpa di Kalimantan barat. Kepala Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak, Erika Mardiyanti, S.Kom., M.Si, menyatakan, diprakirakan hujan akan mulai turun pada 20 September 2019 di Kalimantan Barat bagian utara, antara lain di sebagian Kab./Kota : Sambas, Singkawang, Bengkayang, Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang dan Kapuas Hulu. Tanggal 21 hingga 26 September 2019 diprakirakan hujan akan turun di hampir seluruh wilayah Kalbar dengan intensitas sedang hingga lebat. Namun, jika Tuhan turunkan hujan, bukan berarti korban kebakaran hutan ini dilupakan.

“Karena negara telah menjadi pelanggar HAM (Hak azasi manusia) berat. Pemerintah jangan hanya menuntut perusahaan dicabut ijinnya. Karena bagaimana dengan nasib petani mitra plasma. Atau hanya menuntut perusahaan bayar ganti rugi, tapi tak ada eksekusinya. Perusahaan Amerika Serikat bakar hutan tak disegel, ada bukti-buktinya. Pertamina berani tidak menyatakan tidak akan membeli dari perusahaan yang membakar hutan. Saat ini pemerintah sama jahatnya dengan perusahaan, sehingga berhasil mewujudkan wisata asap di Kalimantan, bahkan bisa masuk Guinness Boook of record. Bagaimana sih, kok orang bakar rumah kita, kita biarkan,” tegas Manajer Advokasi Ekulizer, Agus Tomo, sebuah Yayasan Pemerhati Sosial dan Lingkungan Hidup di Kalimantan Barat.

Kebakaran hutan dan lahan yang kembali berulang di tahun ini, adalah indikator kegagalan pemerintah dalam pengelola hutan dan lahan. Jika saja pasca kebakaran hebat 2015 lalu pemmeeritah langsung melakukan penegakan hukum dan reviewperizinnan (cabut izin), mengembalikan hak serta pengelolaan hutan dan lahan terbakar kepada rakyat, maka bencana ekologi berupa asap beracun yang membuat kerugian negara dan engacam keselamatan ribuan orang tidak akan terulang. Pemerintah tidak boleh mengulang kesalahan ini kembali. Penegakan hukum harus tegas dilakukann kepada perusahaan yang telah menjadi residivis penjahat lingkungan hidup dan kemanusiaan,” ujar Hadi Jatmiko dari Ligkar Hijau Indonesia- Sumatera Selatan.
Aktivis Lingkungan dari Kalimantan Tengah, Emmanuela Shinta pun mengedarkan Petisi Tuntuta #ClimateJustice4Kalimantan: Selesaikan 22 tahun Karhutla Borneo!
- Tahukah kamu bahwa dalam kurun waktu 50 tahun, sekitar 7.000.000 hektar HUTAN Borneo terbakar habis? (CIFOR).
- Tahukah kamu bahwa masyarakat Kalimantan telah menghirup asap beracun dari karhutla selama 3-5 bulan setiap tahunnya, sejak tahun 1997?

- Sudah terlalu lama para pemimpin negeri ini berdiam diri tanpa melakukan sesuatu untuk menghentikan perubahan iklim, menyelamatkan hutan Kalimantan dan melindungi nyawa serta masa depan anak-anak Kalimantan.
- Kami, orang-orang muda Kalimantan, seiring dengan gerakan #GlobalClimateStrike di seluruh dunia menjalankan KALIMANTAN CLIMATE STRIKE 20-27 SEPT untuk menuntut agar para pemimpin: Para Gubernur Kalimantan, Presiden RI Pak Jokowi, Menteri KLHK Ibu Siti Nurbaya Bakar, segera memberikan keadilan iklim bagi Kalimantan!
Tiga tuntutan #ClimateJustice4Kalimantan :
1. Tindak tegas KORPORASI perusak lingkungan Kalimantan!
Per September 2019, terdapat lebih dari 30.000 titik api di seluruh pulau Kalimantan. Lokasi kebakaran pun terorganisir. Banyak perusahaan yang telah terbukti membakar untuk perkebunan, namun tidak ada tindakan tegas maupun sanksi sama sekali. Wahai pemimpin negeri, Kami tidak butuh janji kalian; kami butuh TINDAKAN NYATA kalian dengan menghukum perusahaan yang terbukti bersalah. Umumkan nama-nama perusahaan tersebut dan buat mereka bertanggung jawab atas kerusakan yang telah diperbuat. Percuma bicara tentang kedaulatan bangsa kalau kalian tidak mampu mengatasi para perusak lingkungan ini. Berikan kami #KeadilanIklim sekarang.
2. Lindungi Pendidikan dan Kesehatan kami dengan menyediakan RUANG BEBAS ASAP di sekolah-sekolah.
Batas aman partikel polutan PM2.5 Nasional adalah 65 ug/m³, sementara pada tanggal 15 September 2019 angka PM2.5 di kota Palangkaraya mencapai 9821.01 ug/m³. Ini merupakan 150 kali lipat dari batas aman. Dampak dari menghirup PM2.5 dalam jangka waktu yang lama adalah berbagai masalah kesehatan; ISPA, diare, kerusakan paru-paru dan kanker nasofaring. Kami telah melihat sendiri bayi, anak-anak kecil dan orang tua meninggal akibat kabut asap. Sekolah-sekolah pun di tutup. Kami harus mengorbankan pendidikan kami. Ini adalah hak kami untuk mendapatkan perlindungan kesehatan yang layak! Berikan kami RUANG BEBAS ASAP di sekolah, sehingga kami tetap mendapatkan hak untuk pendidikan dan kesehatan secara bersamaan. Lindungi masa depan generasi kami.
3. STOP mengkambinghitamkan peladang atau petani lokal!
Dari tahun ke tahun petani Dayak selalu ditempatkan sebagai pelaku pembakaran. Bagaimana dengan korporasi yang menginvasi hutan dan masyarakat adat Kalimantan? Siapa yang sesungguhnya membakar ratusan hektar untuk perkebunan? Kami melihat ayah, paman dan saudara-saudara kami ditangkap dan terancam 10 tahun penjara demi sesuap nasi dan membayar biaya pendidikan kami. Kamilah yang pertama kali memadamkan api di depan mata karena hutan dan ladang adalah sumber kehidupan kami. . Begitu banyak petani lokal yang menderita karena karhutla, kehilangan kebun dan pohon karet yang sudah susah payah dijaga selama bertahun-tahun, namun mereka tetap disalahkan atas segala sesuatu. Kami menuntut pemerintah untuk meminta maaf secara terbuka kepada petani dan peladang, khususnya para petani Dayak.
Sekali lagi, Kepada para Gubernur Kalimantan; Kalimantan Tengah: Pak Sugianto Sabran,Kalimantan Barat: Pak Sutarmidji, Kalimantan Selatan: Pak Sahbirin Noor,Kalimantan Timur: Pak Isran Noor,Kalimantan Utara: Pak Irianto Lambrie, Serta Pak Presiden RI JOKO WIDODO dan Bu Menteri KHLK SITI NURBAYA BAKAR
“Kami, gerakan KALIMANTAN CLIMATE STRIKE menuntut dipenuhinya 3 tuntutan #ClimateJustice4Kalimantan: Selesaikan 22 tahun Karhutla Borneo, sebelum akhir Oktober! SEGERA akui kesalahan pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan yang GAGAL dan laksanakan kewajiban kalian. Atas nama pelajar dan orang muda Kalimantan. Kami adalah masa depan kalian.
Bergabunglah bersama kami di #KalimantanClimateStrike!” Demikian Emmanuela Shinta.<<
Bagian : >1