Bagian : >2
Panas nian kemarau ini,rumput-rumput pun merintih sedih
Resah tak berdaya di terik sang surya, bagaikan dalam neraka
Curah hujan yang dinanti-nanti, tiada juga datang menitik
Kering dan gersang menerpa bumi, yang panas bagai dalam neraka
Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi…
Lirik lagu berjudul Kemarau yang dilantunkan Gito Rollies, seperti mewakili situasi negeri kita saat ini. Terutama di Kalimantan yang sedang dilanda kebakaran hutan yang dahsyat.

‘Ribuan masyarakat terpaksa menghirup udara beracun, sisa pembakaran hutan. Tak kurang dari 16.000 warga Riau da 8.000 warga Kalimantan Barat, telah terserang ISPA (infeksi saluran perpasan akut). Sebanyak 48 perusahaan dengan izin konsesi dan 1 lahan milik perorangan telah disegel. Luasan lahan dari penyegelan itu mencapai 8.931 ha,”ujar Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, dalam jumlah wartawan di Restoran Lima Cikini, Jakarta Pusat 19/9.

Ia mengecam keras perusahaan yang telah membakar hutan dan lahan, untuk mencari keuntungan yang besar.
Tak hanya itu, kebakaran di Kalimantan Tengah pun kian meluas. Bahkan hingga merambat ke lahan miliki Kampus Universitas Palangkaraya (UPR).
“Saat ini dipetakan terbakar seluas 41,9 hektar. BEM dan mahasiswa UPR turut terlibat dalam memadamkan api. Berbagaai upaya dilakukan degan alat seadanya, tim pemadam juga melakukan pemasangan sumur bor,” ujar DR Andri Elia Embang, Rektor UPR.
Peladang Bukan Kelompok Radikal Pembakar Hutan
Kebakaran hutan yang kerap terjadi saat musim kemarau, menobatkan Indonesia tidak hanya memiliki dua musim. Karena ada satu musim baru yang muncul sejak pertengahan tahun 1997, yakni musim asap.
Presiden Joko Widodo pun mengakui ada kelalaian sehingga kebakaran hutan dan lahan, menimbulkan kabut asap pekat terjadi di berbagai titik, seperti dilansir Kompas.com. Seyogyanya, setiap musim kemarau, pemerintah pusat hingga daerah bisa mencegah dan mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan.
Di tengah keresahan masyarakat menghadapi masalah kabut asap ini, seorang petinggi pemerintah bahkan mengkambinghitamkan, kaum peladang, petani ladang sebagai dalang pembakaran lahan.
“Setelah musibah, sekarang terjadi saling tuduh. Mulai dari kepala daerah yang cuek bebek, BNPB, TNI, Polisi, runyamnya lagi warga peladang. Sepenegetahuan kami, orang Dayak secara turun temurun sudah mumpuni , lihai dalam pengendalian api ketika membakar ladang, dengan sekat bakar,” ujar seorang netizen warga Dayak.
Seorang peladang di Kab. Murung Raya, Kalteng pun ditangkap aparat kepolisian Kalteng. Tak urung masyarakat Dayak pun megajukan protes.

“Para petani Dayak hanya berladang di daerah lahan kering (tanah mineral) yang bukan gambut. Sehingga setelah lahan dibakar, kayu beserta dahan dan ranting habis terbakar, api langsung padam karena tanahnya tidak terbakar oleh api. Hari ini bakar ladang, besok sudah bisa tanam padi, karena api sudah padam. Dengan demikian pembakaran ladang petani tidak mengakibatkan asap berkepanjangan,”tulis seorang netizen bernama Dennis L.
Apalagi ladang petani juga tidak berada pada satu hamparan ladang milik puluhan petani. Mereka berladang pada lahannya masing-masing, yang dibuka secara bergiliran olehnya. Pembakaran ladang petani tidak menimbulkan asap berkepanjangan seperti di lahan gambut ( Napa I.Awat, 2019)
Jadi ketika asap mengepul, itu belum meluas dan tidak akan membakar lahan lebih dari luas yang dimilikinya. Dengan kesulitan dan belitan kesusahan karena harga karet dan rotan yang turun, maka menanam padi huma (tugal) yang di panen dalam 3 bulan, menjadi pilihan untuk menyambung hidup keluarga. Tradisi menanam padi seperti itu sudah terbilang ratusan tahun, sebagai bagian dari kehidupan bangsa Dayak.
Saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Riau untuk melihat langsung hutan dan lahan yang terbakar itu, beredar kabar telah ditangkap beberapa pelaku pembakaran hutan dan lahan di Riau, disinyalir mereka dari kelompok radikal. Kabar-kabar seperti ini, menjadi topik hangat di kalangan netizen.
“Pelaku pelaku pembakaran di kalimantan juga indikasinya demikian. Saya jadi teringat akan rilis dari BIN (Badan Intelijen Negara) beberapa waktu lalu, yang mengatakan kelompok Radikal memiliki lahan perkebunan kelapa sawit yang luas di Kalimantan dan Sumatra,”ungkap seorang netizen.
“Perjuangan kelompok radikal di Indonesia sungguh sulit kita tebak, dan dengan menghalalkan segala cara untuk melakukan teror, memecah belah, mengadu domba untuk melemahkan pemerintah. Mereka ingin menghancurkan NKRI menjadi berkeping keping,sehingga nantinya Indonesia ini hanya tinggal nama.Termasuk membakari hutan, menciptakan bencana asap, yang menjadi korbannya hanya masyarakat dan menyengsarakan masyarakat, dan sasarannya di pulau milik orang Dayak. Mampukah kita melawannya ?”tulis netizen yang lain. <<
Bagian : >2