Notes from Central Dayak Land — Bagian 1 : 2 : 3
Di kota tua Pahandut, cikal-bakal Palangka Raya ini, Siboth Rumbang lahir dan dibesarkan.
“Di rumah yang serang menjadi hotel Rampang itulah saya lahir, dekat pelabuhan pertama di kota Palangka Raya ini,”ujar Siboth, pengusaha sukses di tanah Dayak Tengah ini.
Ada kenangan yang tak terlupakan terekam di benak Siboth ketika ia masih anak-kanak di kawasan pelabuhan Pahandut itu.
“Masih ada dalam ingatan saya, orang-orang sekitar pelabuhan ramai sekali berlari-lari. Presiden Soekarno datang untuk kedua kalinya,” kenang Siboth. Ia merasa berusia sekitar 4 tahun saat itu.
Siboth kecil belum paham tujuan politik Bung Karno, Presiden RI datang ke Palangka Raya. Namun ia dengar dari orang tua dan sanak familinya yang bertutur saat itu, jika Bung Karno memperistri seorang gadis Daayak yang berdiam di kampung Pahandut, saat itu.
“Jadi Bung Karno itu juga punya istri seorang perempuan Dayak Kahayan. Ia keponakan dari Damang di Pahandut yang makamnya ada di rumah Sandung di dekat pasar depan hotel Rampang itu,”ujar Siboth.
Dari sang putri Dayak Kahayan ini, Bung Karno tak memiliki keturunan.
“Keluarga Ismail, keturunan istri Bung Karno ini ada rumahnya di Jakarta juga,”ujar Siboth lagi.
Bung Karno memiliki istri gadis Kalimantan, selama ini hanya diketahui berasal dari Kalimantan Timur. Ny Heldy Djafar, lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Provinsi Borneo, 11 Juni 1947. Ia istri kesembilan Soekarno. Nikah dengan Soekarno pada tahun 1966, kala itu Soekaro berusia 65 Tahun, sementara Heldy berusia 18 tahun. Pernikahan mereka disaksikan Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Saifudin Zuhri.
“Jika zaman dulu, gadis Dayak itu dipingit, tak boleh keluar rumah dan hanya dipersembahkan untuk calon suaminya. Maka saat ini, gadis-gadis Dayak itu bebas berkiprah di dunia luar. Agar dunia juga tahu, jika perempuan Dayak juga cantik dan pintar-pintar,”ujar Siboth Rumbang yang beristrikan DR.Ir. Sosilawaty MP, tenaga pengajar di Fakultas Kehutanan, Universitas Palangka Raya.
Bumi Tambun Bungai memang istimewa bagi Bung Karno.Jejak Presiden Pertama RI itu abadi di tanah Dayak tengah itu. Tak heran, jika hingga saat ini, di ruah-rumah penduduk di pelosok Kalteng, bayak lukisann Bung Karno dipajang di dinding rumah.
Dan Tugu Bung Karno yang berdiri megah di tengah kota adalah bukti abadi, sosok presiden pertama itu begitu berkesan bagi bumi Isen Mulang ini. Di Tugu Soekarno yang terletak di jantung Kota Palangkaraya tepatnya di Jalan S. Parman depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Tengah
itulah, diletakkan batu pertama Kota Palangkaraya oleh Pesiden Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957 yang menandakan dimulainya pembangunan kota ini.
Tugu Soekarno ini terdiri dari 17 (tujuh belas) pilar yang berarti senjata untuk berperang. Tugu Api berarti api tak kunjung padam, semangat kemerdekaan dan membangun. Angka 17 melambangkan hikmah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Segi Lima Bentuk Tugu melambangkan Pancasila mengandung makna Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tak jauh dari Tugu Bung Karno yang menunjuk ke arah kota Palangka Raya itu, kita bisa memandang gagahnya jembatan Kahayan yang merupakan kebanggaan masyarakat Kota Palangkaraya. Jembatan sepanjang 640 meter ini menghubungkan Palangkaraya dengan Kabupaten Barito Selatan, dibangun tahun 1995 dan baru selesai tahun 2001.
Di pelataran Tugu Bung Karno itulah, puluhan masyarakat Dayak di Kalteng, menyatakan deklarasi dukungan pemindahan Ibu Kota ke Bumi Tumbang Anoi ini.
“Di sini, pada tanggal 117 Juli 1957, pemancangan tiang pertama kota Palangka Raya, Ibu KOTA provinsi Kalimantann Tengah oleh presiden RI DR.Ir. Soekarno. Pada saat itulah Presiden RI Soekarno menguumkan bahwa Kalimantan Tengah, merupaka tempat paling strategis dibau Ibu Kota NKRI,” ujar Dagut H Djunas, tokoh masyarakat Kalteng.
Dagut juga menyampaikan hasil dari seminar dan ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Tumbang Anoi, dimana masyarakat Dayak Kalimantan berikrar mendukung pemindahan Ibu Kota NKRI ke pulau Kalimantan.
“Masyarakat Dayak meerima dengan sepenuh hati, selapang-lapangnya, baik lahir maupun batin. Dengan catatan , jika sudah waktunya tiba dan Presiden JokoWidodo menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalteg, masyarakat Dayak minta untuk diperhatikan dalam segala aspek kehidupan,”tegas DR Andire Elia Embang, Rektor Universitas Palangka Raya yang juga Ketua DAD dan FIDN Kalteng ini di depan massa yang berkumpul di pelataran Tugu Bung Karno. <<