Bagian >1 w/video >2 >3
Awalnya, Wadian Dadas namanya, bagian dari ritual pengobatan tradisional suku Dayak Man’nyan di Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Selatan, Kalteng. Dalam perkembangannya, tarian ini tak hanya untuk ritual pengobatan, tetapi juga menjadi sarana hiburan.
Biasanya tari ini ditampilkan oleh 6 penari wanita dan 2 penari pria. Diawali 2 penari wanita sebagai dayang-dayang sang dukun. Kemudian muncul 2 penari pria, sebagai dukun. Dengan gerakan eksotis, penari mmelakukan gerangan melingkar dan berputar-putar, menggambarkan ritual pengobatan dengan diiringi gong, gendang, kecapi atau sape’, dan lirik-lirik lagu seperti mantra.
“Tarian Hyang Dadas asli, tidak hanya menghibur penontonn, tapi juga menggelar pergelaran tari yang bernuansa magic. Namun khusus untuk tampilan di Istana Merdeka ini, murni kesenian yang menghibur, tanpa unsur-unsur mistis. Jadi tidak ada aksi dengan mandau, atau menelan bola api, seperti tarian aslinya,” tegas Guntur Talajan, yang biasa disapa Bapak Anggi ini.
“Kebudayaan kami, seorang kepala rumah tangga tidak dipanggil dengan nama aslinya. Tapi dengan nama anak sulungnya. Seperti saya, biasa disapa Bapak Anggi,”ujar Guntur Talajan, pria Dayak Ngaju yang telah berkarier sebagai PNS (pegawai negeri sipil) kini ASN (Aparat Sipil Negara), sejak lebih dari 3 dekade lalu.
“Saya pernah berkarier di Departemen Penerangan pada era presiden Soeharto. Saat Presiden Gus Dur, saya kembali ke kampung halaman dan mengabdi pada Pemprov Kalteng pada tahun 2001,”ujar pria yang meraih gelar Doktor di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur dan menjadi kepala dinas pendidikan dan kebudayaan di Kalteng. Saat itu usianya, 37 tahun.
Meski hanya menyajikan tarian yang menghibur, aroma magic Hyang Dadas ternyata mampu menyihir mata penonton di halaman Istana Negara. Jika hari pertama gladi resik, ada tim penari dan Polwan yang pingsan, maka Hyang Dadas kembali cinta korban tepat di hari Kemerdekaan.
Dua jam sebelum tampil, saat beristirahat di halaman kantor Dewan Pertimbangan Presiden, di samping Istana, bukan penari Kalteng yang pingsan. Tapi penari dari kelompok kesenian dari Bojonegoro, Jawa Timur.
Tim kesenian memang tidak boleh bawa Mandau dan api. Tapi tetap lengkap dengan perlengkapan tari seperti gelang kuningan, hiasan daun janur dan kaling taring dan gelang-gelang yang sudah diberi mantra.
“Nah, kalau di kampung tempat asalnya Hyang Dadas ini, kita tak berani mendekat.
Karena begitu kental nuansa rohnya. Kalau kita mendekat terasa seperti ada yang mendorong tibuh kita. Apalagi kalau kita bertolak belakang dengan roh ini. Hati-hati melangkahi semua properti tari. Kemarin katanya ada yang pingsan, setelah melagkahi gelang-gelang tarian ini,”ujar seorang pendamping tim kesenian Hyang Dadas.
Saat ini, masih dapat ditemui beberapa Balian di Kalteng. Mereka ada yang dijuluki Jagau.
“Seperti Jagau Bapak Rabab, beliau Basir Balian yang saat ini tinggal di dusun Sei Ringui, dari Dayak Ot Danum, Kapuas Hulu, Kalteng,”ujar Bapak Anggie. <<
Bagian >1 w/video >2 >3