Rumah panjang merupakan rumah adat suku Dayak yang terdapat diberbagai penjuru Kalimantan, berada didaerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat dari pemukiman. Jaman dahulu sungai merupakan jalur transportasi utama bagi masyarakat Dayak untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang, yang biasanya jauh dari tempat tinggal mereka.
Rumah panjang atau betang, demikian mereka menyebutnya, merupakan sebuah rumah peninggalan sejarah yang masih dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat Dayak secara turun temurun hingga saat ini, tentang kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan perjuangan panjang dimasa lampau untuk hidup berdampingan dengan alam.
Sekitar tahun 1960-an silam, rumah panjang yang ada di Kalimantan Barat banyak yang dihancurkan oleh pemerintah kala itu. Pemerintah menganggap, gaya hidup komunal masyarakat Dayak menyerupai gaya hidup penganut komunis. Pemerintah khawatir dengan semangat solidaritas penghuninya, dapat mengancam keamanan negara dan tuduhan hidup bersama di rumah panjang/betang adalah tidak sehat karena bertentangan dengan moral.
Sejak saat itulah, mulai sulit menemukan rumah panjang yang dihuni ratusan jiwa seperti dahulu kala. Kalaupun ada rumah panjang tersebut tidak dihuni, tetapi hanya digunakan sebagai tempat upacara adat, bentuk dan panjangnya pun tidak seperti rumah panjang pada jaman dahulu.
Di Desa Saham Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak, sekitar 200 kilometer dari ibu kota Kalimantan Barat, masih terdapat rumah panjang atau betang yang dibangun sejak tahun 1875.
Rumah Panjang Sahapm, yang hampir berusia 143 tahun hingga kini masih dihuni masyarakat sub suku Dayak Kanayatn. Rumah berbentuk panggung yang seluruh bangunannya menggunakan kayu belian khas Kalimantan yang terkenal sangat kuat, dengan panjang 186 meter, lebar sekitar 10 meter dan tinggi 7 meter dari dasar tanah. Rumah panjang ini memiliki 34 bilik atau ruang keluarga yang dihuni sekitar 200 jiwa.
“Rumah panjang pada jaman dahulu sengaja dibikin tinggi untuk menghindari binatang buas yang masih banyak pada masa lalu, dengan rumah yang tinggi, binatang akan sulit untuk naik kerumah. Selain itu desain yang tinggi juga untuk pengamanan dari serangan antar sub suku Dayak pada jaman Ngayau (berburu kepala manusia sesama suku Dayak),” ujar Agustinus salah satu masyarakat Dusun Saham.
Rumah panjang di Desa Saham ini terdiri dari teras yang disebut pante, ruang tamu atau samik, dan ruang keluarga atau bilik berukuran 6 meter x 6 meter. Diruang tamu terdapat semacam meja yang disebut pene sebagai tempat duduk saat menerima tamu.
“Pene dijadikan tempat berbincang dengan tamu, kalau tamu menginap dirumah sekaligus menjadi tempat tidur,” lanjut Agustinus.
Dibagian depan terdapat 34 tangga, jumlah tangga ini menyesuaikan dengan jumlah bilik atau ruang keluarga yang ada, masing-masing bilik memiliki tangga sendiri. Sebab dirumah panjang ini berlaku kepercayaan, jika penghuni salah satu bilik meninggal, saat pemakaman tidak boleh menggunakan tangga penghuni bilik lain karena dipercaya akan mendatangkan hal-hal yang tidak baik bagi pemilik tangga tersebut.
Meski bangunannya terbuat dari kayu dan telah berusia ratusan tahun, bangunan rumah panjang ini masih berdiri tanpa goyah. Terdapat beberapa bagian yang lapuk karena faktor alam dan usia, sudah diganti dengan bahan yang baru. Seperti bagian atap yang dahulunya menggunakan atap sirap dari kayu belian, karena kesulitan akan bahan baku sekarang diganti memakai atap seng. Walau telah direnovasi di beberapa bagian, tidak mengurangi sedikitpun akan nilai-nilai sejarah dari rumah panjang atau betang itu sendiri.