Amji Atak Series: Episode 7
Ada 20 orang dari Detasemen Pelopor, Brimob dan sukarelawan yang sempat ditawan Belanda, usai infiltrasi kedua yang kembali gagal di perairan Fak-Fak, medio Mel 1962. Aipda Sumarno, satu-satunya saksi hidup Menpor yang ditawan Belanda, menceritakan pengalaman pahitnya kepada Brigjen Pol (P) Jusuf Chuseinsaputra dalam buku berjudul Peranan Polri dalam Trikora & Dwikora.
See all: Amji Atak Episodes
Tawanan tiba di Sorong saat hari sudah gelap. Saat itu, di dermaga Sorong tampak berkumpul muda-mudi Papua. Turun dari kapal, Menpor tawanan langsung disambut dengan lemparan botol dan kaleng kosong, sambil mereka berteriak dan mengumpat, menghina pemerintah RI, sungguh menyinggung perasaan prajurit Indonesia yang mendengarnya.

Menpor kemudian digiring ke kantor polisi Sorong. Sumarno mengaku, selama 12 hari berada dalam tahanan, ia tidak pernah mendapat siksaan atau pukulan, justru diperlakukan sangat ramah. Meski pemeriksaan dilakukan secara maraton tanpa mengenal waktu. Ia diperiksa sapai 20 kali dalam semalam hingga pagi menjelang. Praktis membuat para tahanan kurang tidur.
Penjagaan dilakukan oleh orang-orang Papua. Saat tengah malam, mereka sering berbisik-bisik, seolah besok pagi para tahanan akan ditembak mati. Agaknya semua itu dalam upaya perang urat syaraf dan mematahkan moril anggota.

Keesokan harinya, Sumarno diperiksa penyidik Aiptu Hendrik dari Kepolisian Sorong. Tentu Sumarno menjawab bukan sebenarnya. Ternyata keberuntungan saat itu sedang ada di dekat Sumarno. Ia sempat ditanya apakah menguasai ilmu bela diri Judo ? Aiptu Hendrik kemudian menunjukkan kartu anggota perkumpulan Judo di Sorong. Saat itu ada pula seorang tentara Belanda bernama Bob Geesink, pernah menjadi juara dunia Yudo. Setelah itu, pemeriksaan terhadap Sumarno mulai jarang dilakukan.
Para tahanan kemudian dipindahkan ke Pulau Wundi, dengan kapal Landing Tank, dikawal helikopter.Turun dari kapal, tahan disambut dengan tendang sepatu Lars dan pukulan popor senapan, disertai sumpah serapah yang Sumarno tak mengerti maknanya.

Dari dermaga, tahanan kemudian diperintah berlari sepanjang 1 kilometer, dan ini menjadi awal penyiksaan. Jika di Kepolisian Sorong dengan upaya perang urat syaraf, sedangkan di Pulau Wundi, dengan penyiksaan fisik. Jika pekerjaan dilakukan tahanan dinilai kurang sempurna atau melakukan sedikit kesalahan, maka bersiaplah menerima umpatan disertai pukulan. Bahkan ada tahanan yang dijemur di atas seng panas.
Di ruang tahanan, para Menpor bersama dengan tahanan lain dari Kompi Banteng Raiders, anggota PGT/TNI-AU yang terpisah dari kesatuannya, anggota RPKAD yang ditangkap di pulau Gebe dan pulau Gak, sukarelawan sisa pertempuran di laut Arafuru, awak pesawat Dakota TNI AU, Kapten Penerbang Jalaludin, juga berbagai komponen pasukan lainnya yang diterjunkan di Irian Barat dan tertangkap.

Setiap hari selalu ada tambahan tawanan yang ditangkap. Dari percakapan tentang pengalaman di medan tempur, mereka mengungkap tentang keganasan medan Irian Barat. Rimba dengan pepohonan yang tinggi-tinggi, sehingga sulit untuk mendapatkan bahan yang bisa diolah menjadi makanan. Tak heran, dalam kondisi yang melemahkan fisik, membuat mereka tak berdaya saat menghadapi tentara Belanda.
Di penjara, tawanan dijauhkan dari radio agar tak bisa mendengar berita. Dalam kamp dibentuk semayam kompi-kompi. Seorang anggota RPKAD bernama Endang ditunjuk sebagai koordinator untuk mengatur pembagian tugas. Ia bertanggungjawab kepada Komandan Kamp Belanda, Sersan Mayor Peter, blasteran Indonesia Belanda berpangkat Letnan, lulusan Akademi Militer.
Selama dalam tahanan, dilakukan interogasi perorangan secara berulang-ulang. Pertanyaan seputar kegiatan militer. Dan saat interogasi ini tak luput dari penyiksaan. Setelah keluar dari kamar interogasi, banyak anggota yang menderita kesakitan parah.

Hingga menjelang 17 Agustus 1962, penjaga di Pulau Wundi ditambah kekuatannya. Pasukan Belanda menambah pasukan siap tempurnya. Mereka tak ada basa-basi, keras dan kaku, asal main tendang dan pukul. Sumarno dan rekan-rekannya hanya pasrah pada nasib.
Pada satu malam, para tahanan digiring ke satu lapangan. Mereka diperintahkan menggali lobang yang tak diketahui peruntukannya, lobang panjang seukuran badan masing-masing. Sepanjang malam itu, lampu kamar dipadamkan, kecuali lampu halaman penjara. <<
See all: Amji Atak Episodes